Thursday, November 17, 2011

PARADIGMA YANG SALAH TENTANG ORANG YANG PRESTASI AKADEMIKNYA BAGUS LEBIH MUDAH MENDAPATKAN PEKERJAAN


 
   Sebagian masyarakat beranggapan bahwa orang yang prestasi akademiknya bagus akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan daripada orang yang prestasi akademiknya pas-pasan. Itu salah besar, karena semua tergantung niat dan usaha masing-masing pribadi. Berikut ini merupakan komentar masyarakat tentang orang pintar yang sulit mendapatkan pekerjaan


Dirman Artib

Saya pernah ngumpulin data temen-temen seangkatan, 2 tahun di atas dan 2
tahun di bawah, hasilnya :

1. Yg pinter-pinter, kriteria cepet tamat-sekali ambil passed-6 besar, nilai A&B berhamburan, digunain dosen buat ngajar kita-kita yg rada bego kebanyakan jadi staff pengajar/dosen, seterusnya sekarang banyak yg udah S3 (DR, PHD).

2. Yang ditengah-tengah jadi profesional dan pekerja (Insinyur, Inspektur, Manajer, Advisor) + pengusaha jasa. Ada juga yg jadi pegawai BUMN/BUMD e.g. PLN, PDAM, Bank.

3. Yang agak telat tamat, jadi pengusaha produk spt, suppliers, fabrication contracting + jadi pegawai negeri non BUMN (pemda, PU)

Fenomena paling menarik adalah, ada bbrp. kelompok no. 1 keluar dari dosen dan coba cari kerja, tapi sulit dan akhirnya ngajar lagi di Univ. lain atau Akademi lain.










dimas yudhanto

Uda Dirman, ngga kangen taplaou, airmanis, BIM?
memang ngenes kalo kita ngumpulin database temen-temen seangkatan, ketika kita mendapati kenyataan bahwa kesuksesan tidak linear dengan prestasi akademik.

pastinya, concern kita skg adalah peningkatan kualitas output perguruan tinggi, baik secara akademik maupun soft skill.



Syafrial Anas

Simple aja,
Pola pikir kita dan sesepuh kita yg harus diluruskan, bahwa pendidikan tinggi bukanlah tujuan mutlak untuk mendapatkan pekerjaan hebat, jabatan tinggi, gaji enak.
Masalah rezeki adalah urusan Allah (setiap manusia ditetapkan berbeda), manusia dituntut sebatas usaha. Cepat lambatnya bekerja, besar kecilnya gaji, bukanlah suatu ukuran keberhasilan, namun membina kepribadian mandiri dan pantang menyerah dalam kompetisi hidup adalah utama.


Ilham B Santoso

Salam,

Mungkin.pemikiran ini adalah "warisan" dari jaman doeloe.dimana orang sekolahan akan menjadi guru, dokter..atau pamong praja pemerintahan hindia belanda..he..he..he.

Tapi, yang "jaman doeloe" pun sudah banyak yang maju pemikirannya khususnya kalau kita "bermain" di "area" pondok pesantren, karena biasanya cita-cita terbesar dari para santri di pondok itu adalah mendirikan pondok pesantren seperti milik guru/kyai nya.jadi tidak bercita-cita untuk "bekerja" pada pondok yang lebih besar..tapi menjadi pemilik pondok pesentren. Dan biasanya ponpes baru (yang didirikan santri yang telah lulus dari ponpes lama) juga didukung oleh ponpes lama (milik sang kyai), dengan cara mengirimkan/merekomendasikan murid atau calon murid yang masuk ke ponpes lama untuk sebaiknya belajar ke ponpes baru dan jika nanti lulus dari ponpes baru bisa di"akriditasi" sebagai lulusan ponpes lama. Jadi ponpes baru dijadikan mitra dan asuhan ponpes lama agar dapat berkembang..menghasilkan ponpes-ponpes baru lagi.dstnya. Mungkin pandangan/pola pikir jadoel ini perlu kita tularkan ke pendidikan "modern".???



Toalu Famela


I like this statement... .bagus loh.....

Cepat lambatnya bekerja, besar kecilnya gaji, bukanlah suatu ukuran keberhasilan,  namun membina kepribadian mandiri dan pantang menyerah dalam kompetisi hidup adalah utama.

Siapakah penemu statement diatas?



buddy cahyono


Nambahin sedikit,

Kalau orang pintar seyogyanya tidak sulit untuk mendapat kerja, hanya belum "beruntung" saja. Bahkan semestinya bisa membuka peluang kerja bagi yg lain...
Orang yg (maaf) bodoh, "kalah" (baca: dalam memperoleh pekerjaan) dengan orang yg pintar,
Orang yg pintar, masih "kalah" dengan orang yg cerdas,
Orang yg cerdas, masih "kalah" dengan orang yg beruntung...


Mico Siahaan

Kalau orang pinter susah cari kerja, bagaimana lagi dengan yang bodo? hehehe. Saya melihat 'kepintaran' dalam bekerja bukan hanya fungsi dari IQ namun juga bagaimana orang tersebut cerdik dalam bekerja.

Saya sendiri sih merasa bukan orang bodo secara IQ, tapi merasa kesulitan mendapat pekerjaan di dunia migas. Analisa saya:
1. Telat masuk dunia migas, sehingga:
2. Kurang pengalaman, padahal
3. Sudah umur kepala 3, dianggap
4. Tidak semudah fresh graduated untuk mempelajari hal baru

Saya melihat faktor-faktor itu membuat saya sulit mencari pekerjaan di dunia migas ini. hehehe. Benar tidak para pakar HR? Kalau saya salah, tolong koreksi.

Pak Budi, mungkin perlu juga ada Career Coach di milis ini, khususnya dari para expert di HR.



Administrator Migas

Sudah saya bicarakan hal ini dengan Moderator KBK SDM Milis Migas Indonesia Bpk. Pungki Purnadi, dan beliau setuju untuk memberikan sesi pelatihan mengenai HRD (lihat email saya mengenai CV dan Teknik Interview) setiap bulannya dengan topik-topik yang aktual. Detail mengenai hal ini sedang dikerjakan oleh panitia, jadi kita tunggu saja pengumumannya nanti di milis bulan depan.



Fadhli Halim@saipem


Dear,

Menurut saya, ada faktor lain selain faktor usaha maksimal untuk mencari kerja, yaitu keberuntungan dan "Takdir Tuhan". saya kira ini faktor sangat dominan.


Rovicky Dwi Putrohari

Ini yang judulnya bisa jadi masuk kelirumolog lagi :)
Dijadikan positip sakjane ya bisa :

"Orang pintar lebih mudah menyeleseikan pekerjaan" Jadi sebagai pemberi kerja ya tentusaja harus nyari yang mampu menyeleseikan pekerjaan.

rdp
"yang masih belum selesei pekerjaannya, soale bodho :("



Aroon Pardede

Sejauh ini, saya belum dengar komentar dari para HR professionals yang  ada di milis ini (pak Pungki, dan bapak2 HR professionals lainnya),  tentang kebenaran (atau kesalahan) statement yang menjadi subject thread  ini.... Sebenarnya, apa HR sendiri memang 'enggan' mempekerjakan  orang-orang pintar secara akademik (yang IPK nya 3.5 ke atas....)???

Sebab, saya sih pernah mendengar, katanya memang HR agak segan menerima  orang2 seperti ini, karena, katanya orang2 ini, karena merasa dan tahu  dirinya pintar, maka loyalitas pada perusahaan kurang, dan merasa  superior, jadi, pada akhirnya kurang bisa bekerja sama dengan orang2  lain di perusahaan yang 'biasa-biasa' saja.

Jadi, daripada menimbulkan 'bad chemistry' di perusahaan, ya... sekalian  saja orang-orang pintar ini tidak diterima...?? So, kembali lagi  pertanyaan saya, apa memang HR professionals memang punya semacam  keengganan untuk merekrut orang-orang pintar ini?? Atau itu cuma  'gossip' saja??

BTW, saya pernah tuh ngeliat iklan, yang mencari sarjana teknik dengan  minimum IPK 3.5 (dalam hati saya berpikir,... buset dah.... kayaknya  kalau dari latar belakang teknik, bakalan susah banget dapetin kandidat  yang memenuhi syarat.... hehehehe.....)



Dirman Artib

Pak Aroon,
Apa itu maksudnya HR professionals ?
Apakah ada HR "tak" professionals ?
Dimanakah biasanya HR "tak" professional bekerja ? Kasihan sekali tuh perusahaan dan karyawan nya.

Aroon Pardede

Gampang aja pak Dirman,

Buat saya "HR professionals" = orang yang bekerja dalam bidang/fungsi HR.
Masalah ke profesionalan dia bekerja atau tidak, saya rasa itu adalah cerita lain lagi....

Contoh saja, "gelar" PE (professional engineer) adalah gelar bagi insinyur/engineer yang bekerja pada bidang rekasaya/engineering. Masalah dia kemudian profesional dalam bekerja, atau tidak, tidak ada hubungannya dengan "gelar"nya bukan???

Ilham B Santoso

M Dirman,

Mungkin maksudnya adalah professional di bidang HR mas.kan pake hukum MD.

pungki purnadi

Dear Rekan Aroon,

Tampaknya judul topik diatas ini terlalu provokatif dech.

Jujur selama 17 tahun kerja di bagian HR di oil & gas industry, tidak ada pernah keluar statement demikian dari top management ataupun dari fungsi HR sendiri.

Malah dengan meletakkan IPK tinggi di kriteria recruitment perusahaan, artinya menunjukan bahwa perusahaan maunya cari orang pintar.

Masalahnya tidak semua orang pintar di bidangnya bisa bekerja dengan optimal. Banyak faktor yang mengakibatkan seorang yang pintar di kampus tidak dapat berkinerja dengan baik di perusahaan. Misalnya management style, infrastructure, tata nilai perusahaan, kultur & budaya perusahaan, birokrasi, bisnis process, cepatnya perkembangan teknologi, karakter manusia dsb.

Memang ditahun 2000 disebuah perusahaan migas pernah ada survey dari hasil perjalanan karir para karyawan yang direkrut 10 tahun, 15 tahun dan sampai 20 tahun yang lalu. Dan dari survet tsb membuktikan bahwa (kurang lebih) 70% dari pimpinan yang ada di organisasi perusahaan tsb ternyata berasal dari second best candidates, dalam artian bukan yang merupakan pilihan pertama pada saat interview 10, 15 dan 20 tahun yang lalu.

Artinya dari survey tsb membuktikan bahwa hasil tes recruitmentnya pada saat itu yang masih kebanyakan berupa tes IQ, TPA, traditional Interview dsb, tidak dapat menjamin karir seseorang kandidat setelah 10, 15 dan 20 tahun berkiprah diorganisasi perusahaan tsb.

Arti lainya adalah karir sesorang akan sangat tergantung kepada :
1. Cocok atau tidaknya kinerja yang ditunjukan selama karirnya
2. Pas atau tidaknya management style, leadership style, values perusahaan dengan apa yang dimiliki dari motivasi dan karakter pekerja
3. Bagaimana si pekerja bisa optimum kinerja lewat orang lain dan cara bekerja dengan orang lain dalam organisasi perusahaan dan kelihatan atau diakui oleh orang banyak di organisasi perusahaan tsb.
4. How SMART dia bekerja
5. Luck....

Kesimpulannya, kalau sampai saat ini masih banyak orang pintar belum dapat kerja, sebenarnya tinggal memoles diri dan melihat secara jeli opportunity yang cocok dengan capability dari dirinya dengan apa yang diminta oleh perusahaan. Trus mencoba untuk cari tau masalah pola kerja yang ada dan banyak doa.



Aroon Pardede

Wah.... terima kasih atas respon super cepat dari pak Pungki (I wish my  HR were this fast.... hahahaha.....). saya tertarik dengan pernyataan  pak pungki, tentang "4. how SMART dia bekerja". Saya yakin, bapak punya  maksud tertentu dengan meng CAPITAL kan kata SMART.

Sebab, saya pernah diberitahu, "work SMART has nothing to do with how  smart you are intelligently, but how smart you are at analyzing your  working condition and how quickly you adapt and use that to your own  advantage"

Kira-kira, benar gak pengertian saya terhadap SMART yang bapak kemukakan  dibawah.....???



pungki purnadi

Anda jeli rekan Aroon.

Memang benar apa yang anda terangkan sebagai work SMART.
Orang boleh punya IQ tinggi tapi klu tidak work SMART ya akan tetap ketinggalan.

Saya coba ambil beberapa kriteria umum yang banyak dipakai untuk mengkategorikan pekerja SMART sehingga bisa masuk dlam kategori high potential itu adalah sbb :

1. Pola Pikir.....apakah match, visioner, pas dsb. dg management & perusahaan
2. How resilient ? cukup resilient, apa sangat tinggi atau tidak resilient sama sekali.
3. Bagaimana dia bisa bekerja dengan orang lain dan mengelola orang lain, atau dengan kata lain bagaimana dia dapat mencapai hasil lewat kemampuan dirinya dan orang lain.
4. How adaptive the employee to all kind of working situations and conditions
5. How fast he or she can learn (including the new things)

Jadi yach begitu lah kira2 kesimpulan seseorang bisa berkarir dengan baik di organisasi perusahaan dan dari awal sebelummasuk kerja sudah dapat menunjukan hal2 tsb diatas.



Bayu Adhitya Nugraha

Yups, saya setuju dengan saudara Pungki ini, kalo yang jadi indikator pintar-nya itu karena IQ-nya tinggi aja wah itu emang pantes ngga terserap dunia kerja....
karena yang penting saat kerja tidak hanya keahlian saja tapi juga soft skill-nya,
mungkin orang-orang rame ngomong kalo era 21 itu era-nya otak kanan, era-nya orang yang cerdas secara emosi, saya sendiri salah satu yang sependapat...:)
Salah satu indikator cerdas menurutku ya ngga hanya tinggi di IQ, tapi bagaimana dia mampu berkomunikasi dengan,kemampuan presentasi, kemampuan memimpin dgn baik, mampu bekerja dalam tim, bekerja dalam tekanan, kemampuan adaptasi yg baik...etc
Banyak yang pinter hanya di IQ saja, mereka dulu pas kuliah hanya bergulat dengan buku, ngga pernah aktif ber-organisasi...nah yang kayak gini niy pasti kaget dah nemu realitas dunia kerja seperti apa.
just my opinion..

kunto

Melihat topik yang rame ini saya jadi ingin bercerita.
Dulu, ada seorang teman yang bercerita soal orang bodoh dan orang pintar. Kemudian dia menggambarkan grafik parabola di papan tulis sambil berkata orang bodoh ada diposisi puncak dari grafik. Dan jangan dibayangkan itu terjadi dengan instant. Dia harus survive dengan status orang bodoh(bukan kategori terbaik), dan karena effort-nya, dia akhirnya mengerti bagaimana cara untuk bertahan hidup.  Singkat cerita, sampai hari ini, memang berat untuk survive dengan kondisi yang biasa, apalagi yang bodoh. Namun, pelajaran menarik adalah orang bodoh ternyata tidak bodoh untuk membaca peluang, mengolahnya, dan mencari orang pintar untuk menyelesaikan. Mereka (baca: orang bodoh) tahu harus berbuat apa untuk mencapai tujuannya setelah dan selama menempuh mata kuliah "life survival" selama bertahun-tahun, yang tidak pernah diajarkan di kampus manapun diseluruh dunia dan tidak ada gelar lulus untuk mata kuliah itu. Dan bahkan tidak akan pernah lulus sampai nafas terakhir. Mereka tahu itu.
Dengan menempuh satu mata kuliah itu, Mereka belajar mengenai:
1.Kemampuan dirinya
2.Kemampuan orang lain (kadang kala mereka butuh orang bodoh juga untuk kepentingannya)
3.Tujuan hidup (biasanya berhubungan dengan kemakmuran)
4.Tujuan mati, mereka sadar bahwa mereka memiliki agama atau keyakinan, orang tua, keluarga, saudara, teman, sahabat,dan musuh (atau orang yang berseberangan, walaupun mereka tidak ingin berseberangan) yang harus diperhatikan
5.Untung dan rugi itu seperti apa bentuk dan rasanya (tidak selalu berhubungan dengan harta)
6.Berbagai kiat untuk mengatasi berbagai masalah yang muncul(tentunya mereka sudah pernah menghadapinya) termasuk tindakan serta sikap apa yang harus diambil(EQ).
7.Dan yang utama, mereka tahu, pasti ada porsi rejeki untuk mereka didunia ini.
Jangan meremehkan orang bodoh. Mereka bodoh dihal "ini", tapi sangat pintar di hal "itu". Karena mata kuliah yang mereka ambil, beberapa orang menjadi sangat cerdas dan tekun karenanya. Begitu juga kondisi terhadap orang pandai, tidak ada bedanya.
Kursus singkat menarik dari si orang bodoh, namun petinggi negeri,
cendekiawan, dan pengusaha manca negara mengenal si orang bodoh ini.
Jadi, kesimpulan si orang bodoh adalah orang bodoh adalah orang yang tidak pernah mau belajar dari hidupnya sendiri dan tidak berusaha memperbaikinya. Entah sebagai karyawan perusahaan, akademisi, pengusaha, pengangguran, perampok, ulama atau apapun bentuk pekerjaannya.
Semoga bermanfaat.
Pendi@gunanusa


Ikutan nimbrung,

Saya pernah denger bahwa keberhasilan/kesuksesan dalam karir maupun bisnis seseorang itu dipengaruhi oleh 2 jenis kompetensi (Mark Spencer Theory (?) ):

1. Hard Competence (Kognitif) yang terdiri dari analytical mind, conceptual mind and skill --> kompetensi ini berpengaruh sekitar 30% terhadap kesuksesan/keberhasilan
2. Soft Competence yang terdiri dari 17 jenis kompetensi diantaranya drive to success, concern to others etc --> kompetensi ini berpengaruh sekitar 70% terhadap kesuksesan

Mungkin para pakar HR bisa menambahkan



Indra Prasetyo

Ary Ginanjar Agustian dan Daniel Goleman, masing-2 dalam bukunya yg berjudul ESQ dan Working with Emotional Intelligent, keduanya berpendapat bahwa orang yang mempunyai IQ tinggi atau mempunyai kemampuan aspek kognitif tinggi cenderung mempunyai EQ yang rendah. Dalam bekerja, EQ (termasuk didalamnya kemampuan berinteraksi, komunikasi, empati, dsb) lebih berperan dalam menentukan kesuksesan seseorang daripada IQ.



Rovicky Dwi Putrohari

> Ary Ginanjar Agustian dan Daniel Goleman, masing-2 dalam bukunya yg berjudul
> ESQ dan Working with Emotional Intelligent, keduanya berpendapat bahwa orang
> yang mempunyai IQ tinggi atau mempunyai kemampuan aspek kognitif tinggi
> cenderung mempunyai EQ yang rendah. Dalam bekerja, EQ (termasuk didalamnya
> kemampuan berinteraksi, komunikasi, empati, dsb) lebih berperan dalam
> menentukan kesuksesan seseorang daripada IQ.

Ada yang pernah baca atau mengetahui, kira-kira Einstein, Schodinger, Abdus Salam, dan para pemenang nobel itu EQ-nya tinggi nggak ya ?

Btw, setahu saya EQ atau ada yang menyebutkan EI (Emotion Intelligence) itu masih belum dipakai secara khusus dalam dunia pembelajaran, kalau ada rekan dari IKIP mungkin dapat menjelaskan atau mengkoreksi. Dalam "learning theory" EQ masih belum dipakai sebagai tolok ukur kemampuan murid. Mungkin bisa jadi EQ ini masih berbau mitos, masih belum sepenuhnya masuk kedalam ranah science murni. Kalau IQ memang iya. IQ merupakan salah satu tolok ukur kemampuan orang yang dapat "diukur", dianalisa, dan memiliki kemampuan untuk prediksi (ini merupakan ciri khusus dari "science")

Jadi secara ilmiah EI atau EQ masih dianggap belum stabil. Definisinya sendiri masih belum fixed. Dan ini bukan berarti bahwa EQ tidak ada atau tidak memiliki arti looh. Hanya saja EQ ini bisa saja dianggap sebagai experiment subject, bukan applied subject. Skali lagi dalam kacamata ilmu pengetahuan. Bahkan EQ ada yang menyebutkan bukan bagian dari Intelligence seseorang.

Penyebaran atau kajian praktis EQ banyak mendompleng dalam kajian teologis atau kegiatan keagamaan. Mungkin karena secara ilmiah (learning theory) belum diakui sepenuhnya. Tentusnya sulit memasukkan ilmu aplikasi yang bukan berasal dari ilmu murni (psikologi murni).
Padahal kalau dirunut, EI atau EQ ini berasal dari pemikiran Darwin ketika berbicara soal "survival of the fittest" Akhirnya berkembang terpisah setelah dikembangkan tersendiri. Hallah kok bisa jadi ya. Evolusinya ditentang agamawan, tetapi EQ-nya dipakai. Wis ah stop sini aja ... kebanyakan OOT di milist ya nanti dimarahin mas Garonk :)



alam@its.ac.id

Teman-teman sekalian,

Mengikuti diskusi teman2 terkait dg subject ini,maaf...barangkali karena saya tidak cukup pintar untuk memahaminya, kira-kira point (pesan) apa saja yg ingin teman-teman sampaikan ke kami-kami yg berada di perguruan tinggi ini ?

Sudah menjadi panggilan jiwa kami untuk mendidik para mahasiswa menjadi lebih pintar & santun. Nah,kalau ternyata menjadi pintar akhirnya juga menjadi 'masalah' atau 'dipermasalahkan'. So...??????????


rdanisworo


Pesannya gini :

Disekolah kalau mau lulus 80% IQ , 20% EQ, ( tergantung juga kalau IQ tinggi mental dodol , bisa masuk RSJ)

Lulus kerja , atau cari kerjaan , atau mendirikan perusahaan , perbandingan jadi kebalik IQ 20% , EQ 80 %,

Artinya apa ,

Kuliah nggak cuman buku tok ( kecuali mau jadi researcher),
Tapi mempersiapkan diri di Dunia Nyata ( Welcome to real world man..)

Kalau bisa berorganisasi bagus ( belajar berinteraksi dengan sesama, mengemukakan pendapat , mempertahankan pendapat , mempengaruhi pandangan , planning , implementing, evaluation dsb dsb – ini kepake 90% di kerja)
.
Kalau mau kuliah sambil nyicipi kerja bagus,( ini lebih sukses lagi.., asal jangan keasyikan)

Terus juga punya Dream ..
( wah saya mau jadi Turbin Engineer kelas dunia ....,, jadi jalan yang harus saya tempuh adalah..begini begini, saya harus punya coach ...)

Kombinasi dari hal itu , Sukses sudah 99% ditangan..
Jaminan nya adalah keteguhan hati dan kerja keras anda..
Jangan Lupa 1% adalah hal hal diluar kontrol anda.. ( eling lan waspodo mas...)



Dirman Artib

Pak Danisworo,
Saya sewaktu cari fresh blood ke kampus-kampus mempersyaratkan kalau IQ untuk spesifik rekueremen ini tak boleh lebih dari 120, kisaran 109 – 119 lebih baik, ini atas advisory dari konsultan kita (psikolog). Ini kita ikutin karena emang kita bayar dia untuk nasehatin kita, kan ? Padahal dari test IQ banyak yg memlebihi 120 tsb, ngerjain hitung-hitungan cepeeet banget, tapi terpaksa kita eliminasi karena kecenderungan mereka tidak bisa bekerjasama sewaktu bekerja. Kita butuh orang pinter, tapi tak butuh orang pinter banget !

Buat Pak Alam, setahu saya mengajar dan belajar di sekolah/kampus itu bukan untuk bikin orang pinter, tapi proses mentransfer pengetahuan, yang tidak tahu menjadi tahu, gitu lah.
Kan belum tentu yg nggak tahu berarti nggak pinter, kan ? Saya misalnya nggak tahu siapa Presiden negara Bhutan, bukan berarti sauya nggak pinter, toh :)

Kepinteran itu bukankah sudah dibawa sejak lahir ? Atau, mungkin kita perlu diskusi definisi kepinteran dan hubungannya dengan parameter yg ada spt. IQ, EQ, MQ, KQ, GQ, FQ, 7Q, 8Q dan QQ.

alam@its


Teman2,
Menurut hemat saya, akan lebih produktif kalau diskusinya lebih difokuskan pada : Bagaimana meningkatkan ketersediaan lapangan kerja atau Bagaimana meningkatkan kemampuan kompetisi/daya saing kita (baik freshgrad maupun yg sudah bekerja).




Ya Pak d'Art,

Saya ingin menggaris bawahi Kecenderungan untuk kurang bisa bekerja sama.
Kadang orang cerdas tidak memerlukan pendapat orang lain , atau menganggap orang lain kurang perform, sehingga mereka merasa bisa melakukan semuanya sendiri. Hanya mengandalkan diri sendiri. As we know it , most job within the company will involve in human to human interaction, very basic .

Dengan sedikit latihan kerendah hatian , memahami cara pandang orang lain ,( put your self on the other people shoes ..)
Orang Cerdas ini bisa jadi future CEO...
Karena pada dasarnya CEO adalah kombinasi orang yang ber IQ dan EQ yang tinggi.

Semua hal di dunia ini bisa dipelajari.



budi rahardjo

Fyi,

Informasi ini diperlukan sebagai bagian dari sisi pandang lain?

Wasalam.

Budhi Rahardjo

ORANG PINTAR SULIT DAPAT KERJA



Orang pintar akan sulit mendapatkan pekerjaan. Itu kata guru bisnis saya Januar Darmawan. Dan ia bersungguh-sungguh. Ia tidak sedang bergurau. Ia membuat saya berpikir keras. Bagaimana mungkin orang yang pintar justru sulit mendapatkan pekerjaan? Bukankah perusahaan-perusahaan terkemuka selalu membuka lowongan bagi orang-orang pintar tersebut?

Sudah amat jelas bahwa "orang pintar" yang dimaksudkan oleh guru bisnis saya itu tidak mengarah kepada kaum paranormal, apalagi dukun dan sebangsanya. Yang dimaksud adalah kaum terpelajar-cerdas dengan keahlian-keahlian khusus. Mereka adalah alumnus dari sekolah-sekolah terbaik di Indonesia atau di manca negara dengan gelar formal strata-2 (master) dan strata-3 (doktoral). Mereka menekuni bidang-bidang tertentu yang sangat terspesialisasi. Sebagian juga memperoleh spesialisasinya dengan mengambil program-program sertifikasi di bidang tertentu, entah yang berkaitan dengan teknologi informasi, finansial, neurosains, pengembangan sistem, penataan budaya organisasi, dan sebagainya. Kehadiran mereka dalam jumlah yang terus meningkat di Tanah Air, menimbulkan konsekuensi tertentu.

Umumnya, kaum terpelajar-cerdas ini sangat diperlukan oleh perusahaan untuk mengerjakan hal-hal yang spesifik. Misalnya, memperbaiki sistem informasi atau sistem administrasi, membantu standarisasi proses tertentu, membantu meredefinisi budaya organisasi, mengajarkan proses pengelolaan keuangan untuk mencapai kebebasan finansial, memberikan terapi untuk menata sikap dan perilaku buruk, dan sebagainya. Namun, mereka ini sebenarnya hanya diperlukan untuk periode waktu tertentu saja, umumnya dalam hitungan bulan. Setelah periode tersebut, keahlian mereka yang spesifik itu tidak dibutuhkan lagi.

Pada titik inilah fenomena munculnya para konsultan jenis baru di Indonesia bisa dijelaskan. Orang-orang terpelajar-cerdas ini tidak mudah untuk memperoleh pekerjaan tetap (full-time job) dalam sebuah perusahaan karena dua alasan, yakni: pertama, perusahaan tidak mampu membayar sesuai dengan kemauan mereka, karena perusahaan memang tidak membutuhkan mereka dalam rentang waktu yang panjang; kedua, mereka sendiri sulit memperoleh kepuasan profesional kalau hanya berkiprah di dalam satu perusahaan saja, karena mereka akan merasa terkurung dan kurang dihargai sebagaimana mestinya.

Oleh karena itu, orang-orang terpelajar-cerdas ini lebih baik mendirikan usaha sendiri, menjadi konsultan yang melayani berbagai perusahaan saja. Ini solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.

Sebab dari sisi perusahaan, menggunakan jasa para konsultan ahli ini secara hitungan jangka panjang biayanya menjadi relatif murah. Jauh lebih murah dibanding mereka harus mempekerjakan tenaga ahli secara sepenuh waktu sebagai karyawan tetap bergaji tinggi. Ini menjadi bagian dari proses mengurangi biaya tetap dan meningkatkan laba perusahaan. Perusahaan juga tidak perlu memikirkan apakah konsultan ahli ini memiliki kultur dan nilai-nilai yang sejalan dengan perusahaan atau tidak, sebab yang dibeli oleh perusahaan adalah keahliannya. Keahliannya itu yang ingin diambil oleh sebagian karyawan perusahaan yang terkait dengan bidang tugas tertentu, agar perusahaan bisa berjalan sesuai dengan harapan pemilik dan manajemen puncak perusahaan.

Pada sisi lain, kaum terpelajar-cerdas yang dikontrak dalam jangka pendek ini dapat melayani klien yang lebih luas, sehingga baik secara finansial maupun secara kepuasan profesional, semuanya lebih besar. Mereka bisa memberikan kontribusi yang lebih besar kepada masyarakat karena tidak terbelenggu oleh satu organisasi tertentu.

Begitulah salah satu kecenderungan yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Kecenderungan ini sejalan dengan sejarah tenaga kerja di Eropa maupun di Amerika. Sebab pada tahun 2000 saja, jumlah tenaga kerja yang bekerja secara kontraktual di Eropa tercatat lebih dari 50% tenaga kerja, dan di Amerika lebih dari 43% tenaga kerja. Mereka ini adalah tenaga kerja dengan spesialisasi keahlian yang spesifik dan karenanya tidak mampu dipekerjakan oleh perusahaan formal yang selalu mencari cara untuk mengurangi biaya dan memaksimalkan keuntungan. Akibatnya, mereka mendirikan usaha konsultansi sendiri dan melayani klien yang beraneka ragam.

Jadi kecenderungan ini menunjang usaha-usaha perusahaan untuk reducing cost and maximizing profit<. Ini tidak mungkin bisa dihalang-halangi. Akan makin banyak orang terpelajar-cerdas yang sulit mencari pekerjaan tetap dan harus mendirikan perusahaannya sendiri.

Apakah semua orang pintar akan mendirikan usaha sendiri? Tidak juga. Sebagian lagi memilih untuk masuk ke pasar dunia. Mereka tidak lagi melihat Indonesia sebagai sebuah "pembatas", karena bagaimana pun teknologi informasi telah membuat dunia menjadi borderless, tanpa batas yang tegas. Sejumlah pilot Indonesia memilih bekerja di perusahaan penerbangan Thailand. Sejumlah insinyur hebat memilih Malaysia sebagai tempat berkarya. Dan sejumlah dosen yang mumpuni, mengajar di universitas-universitas terkemuka sekitar Asia Tenggara dan Australia.

Lalu, apa yang "tersisa" di perusahaan-perusahaan saat ini? Apakah tidak ada karyawan terpelajar-cerdas yang masih menjadi orang gajian?

Tampaknya masih ada dua kelompok besar yang bertahan menjadi karyawan di perusahaan-perusahaan kita. Kelompok pertama adalah mereka yang memiliki kecerdasan rata-rata saja. Meski pun mereka lulus dengan indek prestasi komulatif di atas 2,75, kecerdasan mereka tidak nampak dalam dunia kerja. Mereka hanya senang disuruh dan diperintah. Mereka tidak menunjukkan proaktivitas yang memadai untuk memperkembangkan diri lewat proses belajar berkelanjutan dari situasi-situasi kehidupan kerja sesehari. Inilah kelompok karyawan mayoritas yang jumlah populasinya mungkin 80% dari total karyawan.

Kelompok kedua adalah sarjana-sarjana cerdas-berbakat yang hanya menggunakan sebagian saja dari kecerdasannya dalam bekerja. Pada satu sisi mereka tidak memiliki pemimpin visioner yang mau mempercayai dan memberdayakan mereka untuk mengerjakan tugas-tugas yang lebih menantang, seperti merintis unit bisnis yang diperkirakan cocok dengan potensinya (dengan risiko gagalnya, tentu). Dan pada sisi lain mereka sendiri tidak menumbuhkan keberanian yang cukup untuk keluar dari zona kenyamanannya, sehingga bersedia menerima imbalan finansial yang lebih kecil asal "pasti". Mereka mengorbankan kecerdasan dan bakat mereka untuk kenyamanan semu yang memabukkan.

Benarkah demikian? Bagaimana pendapat Anda?[aha]

* ANDRIAS HAREFA adalah seorang trainer dan penulis 30 buku laris.




Ismet Somad@pertamina


Ikut nimbrung ya.
Judul dari topik ini adalah kenapa ORANG PINTAR SULIT DAPAT KERJA.

Diskusi ini lebih menyoroti kenapa orang pintar sulit dapat bekerja, dan telah berkembang lagi pembahasannya kenapa orang pintar kurang sukses dalam karir pekerjaannnya. Jawabnya berbagai ragam pendapat dari teman-teman: dari defenisi pintar itu apa, peran EQ dalam suksesnya seseorang, sifatnya orang pintar, orang IQ tinggi cenderung EQ nya lebih rendah dan lain sebagainya.

Saya tidak melihat dari aspek yang diatas, tetapi boleh ya melihat dari sudut kenapa topik ini bisa muncul di Indonesia. Saya pikir 'topik' ini memang wajar muncul dinegara yang lapangan pekerjaannya kurang, dan kecil kemungkinannya topik ini muncul di Jepang misalnya. Jadi ndak salah ya jika kita masukkan bahwa salah satu root cause yang lain adalah: "sulit dan terbatasnya lapangan pekerjaan di Indonesia" (rasanya sudah terungkap sebelumnya).
Coba mereka yang pintar itu hidupnya berada di negara yang banyak lapangan pekerjaan atau mereka pergi kenegara tsb, ya pasti bekerja kan (at least sebagian besar)?. Orang pintar, sedikit pintar, kurang pintar akan bisa terserap sehingga tentu sedikit yang menganggur karena 'tidak sulit dapat pekerjaan'.

Jadi yang bisa diatasi untuk mengatasi root cause tersebut adalah "ciptakan lapangan pekerjaan!". Tugas siapa?. Ya tugas pemerintah, tugas swasta, tugas perguruan tinggi juga (?), dan yaa tugas kita-kita semua.
- Tugas pemerintah menciptakan kebijakan yang mendorong tumbuhnya lapangan pekerjaan (mis. a.l Kebijakan yang mempermudah masukkan modal asing, kebijakan dibidang pendidikan ekstrakurikuler, menjaga kestabilan ekonomi dan politik, dsbnya). Termasuk membuat kebijakan dan sistim manajemennya bagaimana agar lulusan kita yang 'PINTAR2' itu disalurkan dan 'laku' di Luar negeri.
- Tugas Perguruan Tinggi: mencetak lulusan yang pintar-pintar dan menguasai dibidangnya + (kalau bisa) mendidik jiwa enrepreneurship para lulusannya.
- Tugas rakyat: Ikut menjaga kesetabilan sehingga pemodal asing tidak lari, dan yang berjiwa entrepreneurship ikut menciptakan lapangan pekerjaan mis. Usaha yg khusus bisa menambah devisa negara agar duit yang berputar tidak yang itu2 saja (habis kalau yang berputar yang itu2 saja, disisi lain ada yg dapat pekerjaan, dan disi lain ada yang berhenti kerja lagi). Saya salut dengan bertaburannya buku2 tentang entrepreneurship belakangan ini. Yang sudah bekerja ya tentu bekerja dengan baik dan dengan semangat tinggi, sehingga perusahaan maju dan harapannya bisa membuka peluang usaha atau lapangan kerja lain.
- Tugas rakyat yang kurang berjiwa entrepreneurship apa ya?, barangkali berusaha berteman dan terus belajar dengan orang yang entrepreneurship nya bagus, dan bagaimana dengan yang sisanya yang tidak berkesempatan (atau tidak bisa) menjadi etrepreurship ?, yaaa menunggu lapangan pekerjaan yang nantinya bisa tercipta lebih banyak atau diciptakan oleh orang lain.

Masing-masing orang jelas terus fokus dan memberikan yang terbaik pada bidang apa yang digelutinya. Mudah2an orang yang pintar silit dapat kerja itu makin mengecil jumlahnya.



Adji_Priambudi@fmi


Sepertinya parameter orang "pintar" yang sudah dikemukakan dan diulas sepanjang diskusi permasalahan ini sangat banyak sekali, tiap individu tentu akan mempunyai pandangan dengan parameter dan indikator yang kurang lebih sama pada prinsipnya, hanya beda casing nya saja barangkali Pak, (",)
Namun kalau boleh kita mengacu kembali ke awal permasalahan ini muncul, artikel "Makin Tinggi Pendidikan Makin Gampang Menganggur" yang telah diberitakan Kompas 9 Feb yang lalu, jelas-jelas yang disebutkan di sini adalah masalah jenjang/tingkat pendidikannya, sekali lagi bukan masalah pintar nggaknya seseorang toohh, (apa iyya semua di milist ini akan setuju jika ada premis, "semua lulusan S1 pasti lebih pintar dari lulusan Diploma??", dst), jadi seandainya yang akan dibahas adalah masalah jenjang/tingkat pendidikan dengan dunia kerja relevansinya dengan artikel yang telah dimuat di Kompas tentunya pertanyannya akan mengarah kepada, apakah benar lulusan S1/S2/S3 di negara kita lebih gampang menganggur dan susah mendapatkan pekerjaan dibandingkan lulusan Diploma, dst, mengutip pernyataan yang disebutkan dalam artikel tsb:

"Terlebih ada kecenderungan, semakin tinggi tingkat pendidikan semakin besar keinginan mendapat pekerjaan yang aman. Mereka tak berani ambil pekerjaan berisiko seperti wiraswasta, trainer, atau penulis. Mereka pilih menganggur," ujarnya. (Darmaningtyas, Pengamat Pendidikan)....

...Terbatasnya daya serap tenaga kerja sektor formal di satu pihak, dan di pihak lain terjadi percepatan pertambahan tenaga terdidik, juga menyebabkan posisi tawar sarjana di Indonesia amat rendah. Posisi para pencari kerja lulusan perguruan tinggi berada pada posisi dilematis; diterima dengan gaji rendah atau menolak pekerjaan dengan risiko menganggur. Mereka yang realistis memilih bekerja dengan gaji rendah daripada idealis namun menganggur selamanya....

Yang jadi pertanyaan, apa iyaa kondisi dan kenyataan (secara objektif) yang terjadi saat ini di negara kita memang sudah seperti tsb di atas? Apa iyya memang ada dilema seperti yang tsb di atas bagi para lulusan PT di negara kita? Tentunya perlu DATA dan FAKTA yang relevan dan signifikan untuk jawaban pertanyaan2 tsb, dan mungkin sedikit pengamatan saya saja, kayaknya kok ya jarang juga ya lowongan/vacancy dunia kerja di berbagai media informasi di negara kita yang mengharuskan kandidat pelamarnya harus yang sudah S2/S3/Ph.D kalau dibandingkan dengan dengan low/vacancy u/ lulusan S1/D3 misalnya, atau mungkin hanya saya saja yang kurang informasi?? (",)

Opini saya masalah orang pintar (OOT artikel Kompas): tentu saja dunia kerja di manapun itu pasti membutuhkan calon/kandidat pekerja yang pintar bahkan kalau bisa ya yang paling pintar dan cerdas di bidangnya, pintar dari segala aspek dengan indikator dan parameter yang sudah dikemukakan email2 sebelumnya, dan juga pintar, cerdas dalam segala hal pastinya, tapi yang paling penting tentunya asal jangan malah pintar tipu2, pintar boong, pintar menyembunyikan-memanipulasi & merekayasa fakta dan kebenaran, pintar menyalahkan orang lain dan cari kambing hitam, pintar ngeles, lha pintar korupsi apa lagi, dan malah akan lebih bahaya lagi kandidat pekerja yang keminter (dr bhs Jawa, asal kata dari kata pinter/pintar yang mendapat awalan ke- yang jadinya malah mekso,
nggak pinter tapi merasa sok pintar, merasa lebih pintar, bahkan merasa pintar sekali, dan lain sebagainya) maka dari itu pakdhe dengan milist ini semoga bisa menjadi sarana biar tambah pintar lagi bagi yang belum pintar macam orang2 seperti saya dan sarana saling berbagi kepintaran, bukan begitu pakdhe? (",)v monggo dikritisi, bitte.

Terakhir mengutip pernyataannya Pak Habibie, "(pintar/cerdas) IPTEK tanpa (pintar/cerdas) INTAQ = Bencana, (pintar/cerdas) INTAQ tanpa (pintar/cerdas) IPTEK = Buta"
Kalau asal jangan usul, kalau usul nggak boleh asal (",)v (yang pasti pernyataan ini bukan penyataan Pak Habibie), sekian.


yani chaidir


Tapi pada dasarnya, semua orang ingin pintar kan,  kenapa,  karena mau bekerja sesuai dengan kepintarannya, jadi, kepintaran itu memang perlu, he..he..  ini hanya baca dari subjeknya saja yang begitu banyak di milis ini. Kenapa ya, padahal akal adalah salah satu yang tersirat dari kata pintar, jadi, semua orang pintar, hanya bagaimana cara masing-masing saja memanfaatkan pemberiaan anugerah kepintaran tsb,


muhammad rifai


Katanya banyak orang pintar koq masih banyak expat berkeliaran.... katanya, gaji mereka bisa untuk bayar orang kita sebanyak 10 orang...
tirulah pekerja-pekerja india dll, yang mungkin di negara mereka banyak pengangguran, mereka ke indonesia untuk mengurangi saingan di negaranya...
pekerja informal kita aja banyak yang jadi TKI untuk mengurangi perebutan di sektor mereka di tanah air...

Atau tiru aja cina yang berhasil banyak buka industri, meski industri rumahan, tetapi produknya kita pakai juga.


Erry Susetyo


Orang Pintar Sulit dapat Kerja... Saya rasa nggak juga..
Soalnya setiap pekerjaan juga butuh orang pintarkan, apa lagi pintar di bidangnya... kalau kita tinjau, bahwa orang pintar itu yang Indek prestasinya tinggi, atau lulus kuliah dengan cepat dan jadi peneliti, pengajar ataupun hal - hal yang berhubungan dengan keilmuan karena dia sulit cari kerjaan yang lain, saya rasa juga kurang benar, toh itu juga kerjaan kan atau memang mereka merasa cocok dibidang itu.. tapi yang pasti orang pintar tu lebih banyak kesempatannya pekerjaan, bayangin aja lulus aja duluan, persyaratan IP, jelas aman lah.....
tapi, yaa.. kembali lagi ke keberuntungan...
apa lagi, kalo HR-nya belum apa-apa sudah takut dengan orang pintar...
apa boleh buat kan..


dan saya rasa lagi nie, lebih baik pintar dari pada kurang pintar... soalnya...
Masuk Angin saja, sekarang ini mesti pintar kalo mau sembuh... "just kidding".

John Pieter Purba


Topiknya cukup menarik : cuma tidak cukup hanya pintar, kalau bisa pintarnya ditambah lagi menjadi pintar-pintar agar bisa sukses, contohnya pintar-pintar ketika di wawancara, pintar-pintar melihat peluang kerja , pintar-pintar cari hubungan baik ,etc, thx.


Amal Ashardian


All

Kalau aku pikir pikirkan ...neehh yaaaa. Orang Pintar susah dapat kerja....itu memang realita.........dan terjadi ....dan sepertinya ....cuman terjadi di Indonesia
Di Negara lain.....aku perhatikan orang pintar malah jadi rebutan.....

Sekarang coba perhatikan apakah para pemberi kerja setidaknya di sekitar anda ....yang kebetulan ..di indonesia ....itu bagaimana ? orang pintar kah?

Terus coba perhatikan orang-orang yang berpengaruh dan Mbahurekso di Indonesia ini ....orang pintar kah??????

Coba juga dipikirkan......... kenapa indonesia ini........................... hancur hancuran....seperti ini.



Aroon Pardede


Masalah nya cak Amal, orang indonesia itu suka 'minter i' (apa ya bahasa b indonesia yang passs....???) temen sendiri. O iya, cak Amal mesti  membedakan "cerdik" dan "licik".

cerdik = pintar + moral/etika
licik = pintar + nafsu/ambisi

lah, di indonesia banyak yang mana? yang cerdik, atau licik???




Machmud Riyadh


Mas Aroon,

Kalo pintar + nafsu/ambisi + moral/etika namanya apa? Saya pikir yg ini yg sedang dibutuhkan di Indonesia. Pintar, santun, tapi dg ambisi yg meraksasa. Bisa mendobrak tembok2 besar dunia seperti yg barusan dibicarakan dimilis ini : Dr Siti Fadilah Supari - Menteri Kesehatan Indonesia.


SALEH WARDAMA


he he..Mas Machmud..sedikit nambahin
orang indonesia itu pintar pintar dan nafsu-nya tinggi..jadi sama dengan licik
tapi jarang yang pintar tapi berguna,,atau sama dengan cerdas

lihat aja itu di lapangan kerja,aneh-nya..kita itu licik kalo sama teman bangsa sendiri..
tapi kalo sudah sama orang asing, ok semua itu!itu artinya, kita harus bawa budaya..he he budaya kerja-nya maksud-nya ke orang indonesia

Engineer dari Indonesia dan India sama saja, hanya kita kalah..kata-nya di Attitude
di Malaysia saja, Engineer dari India begitu mengusai, ditambah Cina, malah India lebih suka sama orang Indonesia..bukan untuk kuli maksud-nya kek kek kek.


Machmud Riyadh


Mas Saleh,
Saya tersinggung nih. Saya orang Indonesia. Saya punya nafsu tinggi. Saya juga punya etika. Di lapangan, saya tidak peduli darimana atau warna kulit apa, kalo diskusi dan sama2 duduk dalam satu forum ya hak dan kewajibannya sama. Yg salah biar yg ngomong Presdir ya tetep salah. Yg bener, meski, maaf, yg ngomong fresh engineer, ya saya dukung sampai ke ujung langit.
Soal rekan kerja, apakah itu dari India, China, atau darimana pun kalo memang good team player, ya saya suka. Kalo kerjanya provokatif dan discourage team, mereka itu musuh saya. Nggak peduli asalnya darimana. Tapi kalo urusan Nasionalisme, saya sering bilang : "Pak, kalo tangan saya ini tergores, darah yg keluar itu warnanya MERAH PUTIH!".
Maaf, Pak Budhi kalo e-mail saya kali ini agak kurang berkenan. Biar uneg2 saya ceplos dan nggak jadi bisul... :D.




Bapak/Ibu, Punten saya nimbrung, sy lbh suka punya staf yg pinter, apalagi ditambah cekatan dan moralnya bagus, pasti bikin pershn lbh maju.


ali topan


Kalau menurut saya, disini jelinya penulis dalam membuat JUDUL
seperti judul buku "...ternyata Neraka tidak kekal"..... yg menarik perhatian (pro & kontra) banyak pihak
kata "pintar" disini yang masing2 beda mendefinisikannya...





Dear All,

Sehub dg topik

Re: Orang pintar sulit dapat kerja..

Perlu diketahui, bahwa faktor kecerdasan dalam diri manusia tidak terbatas pada IQ-EQ atau SQ saja. Tetapi banyak faktor kecerdasan spt yg sdh disinggung oleh milister lain bahkan masih lebih banyak lagi dan pengetahuan dibidang inipun berkembang terus.

Sila baca di:


Semoga bermanfaat untuk saling berbagi.-


Ms eka isnaini


Sangat provokatif :)
Pintar harus dilihat dari beberapa sudut pandang, preview yang paling pas akan paling bagus hasilnya.
sudahkah sekolah kita mengarahkan muridnya untuk mendapatkan sudut pandang terindah yang diinginkan???
pekerjaan macam apa yang kita inginkan ???
berapa Rp. USD dll uang yang kita inginkan ???
cara hidup seperti apa yang kita inginkan ???
kalau kita lebih focus dengan rencana-rencana kita, Tuhan yang akan menuntun langkah kita menuju kesana.
butuh keyakinan, kesabaran, dan lebih banyak ilmu untuk menjadi lebih pintar dalam arti yang sesungguhnya.


indradjaja andy


Dari milis tetangga

Karena Saya Masih Bodoh, Maka Saya akan terus belajar

DALAM mengarungi hidup ini kita pasti menghadapi berbagai macam orang dan berbagai macam situasi. Orang yang mengosongkan dirinya dari sebutan sudah pintar atau sudah pandai, pastilah akan mampu mengambil manfaat dari orang lain atau pun berbagai situasi. Ibaratnya, segala hal akan menjadi ilmu sehingga ia benar-benar orang yang beruntung karena terus berubah lebih baik dari sebelumnya.

Kepekaan akan ilmu muncul dari hati yang bersih. Orang yang iri dan dengki, segala hal bisa menjadi masalah bukan menjadi ilmu. Orang yang minder pun demikian, ilmu seolah tertutup baginya karena sungkan dan segan. Orang yang sombong apalagi, semua hal akan dianggapnya sepele atau kurang se-level dengan dirinya sehingga tak membuatnya tergerak.

Sebenarnya apa yang sangat berbahaya bagi kita adalah terkotorinya hati sehingga pikiran menjadi redup dari ilmu. Bayangkan, segala hal yang seharusnya menjadi ilmu malah bisa sebaliknya, menjadi bencana. Orang-orang yang miskin ilmu akhirnya kerap menghadapi stres. Lalu, ketahuilah bahwa stres termasuk keadaan yang paling berpotensi membawa kematian.

Apakah hari ini hati kita telah terbuka pada ilmu. Mau mendengarkan pendapat dan penjelasan orang lain, mau membaca buku yang ditulis oleh orang lain, atau mau sejenak memperhatikan anak-anak dan belajar dari mereka? jika semua fenomena itu tidak dapat menjadi ilmu, tetapi malah dianggap masalah. Kita tentu tidak mau dibuat stres oleh masalah yang kita sendiri merasa bingung untuk memecahkannya.

Sahabat bagaimana membersihkan hati itu? Berlakulah selalu bagaikan gelas yang kosong. Dengan demikian, kita siap diisi dan mengisi hidup ini dengan ilmu. Namun sebaliknya, lihatlah gelas yang setengahnya berisi dan setengahnya lagi kosong (gelas yang berisi hanya setengah). Dengan demikian, kita telah mengeset pikiran untuk selalu berpikir positif. InsyaAllah, hati akan tetap terjaga dari kekotoran nafsu duniawi yang salah satunya menginginkan kita menjadi orang yang merasa pintar.

Ilmu memang sudah selayaknya berbanding lurus dengan datangnya masalah agar kita selalu siap mencari solusinya. Bagaimana kalau masalah ternyata jauh lebih banyak daripada ilmu yang kita miliki? Maka, pada saat itulah masalah menjadi tidak terkendali dan melahirkan masalah baru yang lebih rumit serta pelik.

Rekan sahabat sekalian hendaknya kita tidak berleha-leha dalam menuntut ilmu, apalagi menyepelekannya. Orang sukses yang tidak tamat SD (Sekolah Dasar) pun, pastilah ia menggunakan ilmu. Jadi, jangan melihat orang yang gagal sekolah dan menjadi sukses sebagai orang yang mengesampingkan ilmu. "Ah, dia saja tidak sekolah bisa sukses. Lalu, ngapain sekolah?" Bukan sekolah atau tidaknya yang penting, tetapi bagaimana ikhtiar mencari ilmu itu dilakukan dengan atau tanpa melalui sekolah.

Bagian dari sukses seseorang adalah kemampuan dia keluar dari masalah dan mengatasinya. Setiap masalah pasti ada kiat atau ilmu untuk memecahkannya yang biasa kita sebut solusi. Jadi, tidak mungkin tanpa ilmu, sebuah masalah dapat diatasi dan tidak mungkin tanpa ilmu, sebuah sukses akan diraih.

Karena masalah terus datang silih berganti, mustahil seseorang dapat bertahan tanpa terus belajar. Apa yang membuat kita mundur dalam suatu urusan karena kita mulai alergi terhadap proses belajar. Belajar dianggap membuang waktu dan tidak efektif. Akibatnya, masalah cukup diselesaikan saja oleh orang lain yang dibayar untuk itu.

Orang lain yang mendapat uang plus juga mendapat ilmu sehingga untung dua kali. Adapun kita yang sudah membayar, hanya mendapat satu keuntungan bahwa masalah kita diselesaikan orang lain tanpa kita tahu bagaimana cara menyelesaikannya.
Orang yang berhenti belajar berarti sudah selesai dengan urusan memperbaiki dirinya. Padahal, ujian dari Allah tidak akan pernah selesai selama seorang hamba masih menghirup nafas di dunia ini. Oleh karena itu, tanpa belajar terus-menerus, seseorang tidak akan mungkin mampu mengatasi semua masalah hidupnya.

Jadi mari tetap terus belajar, karena saya masih kurang ilmu dibanding anda, maka saya akan terus belajar, dan belajar, jangan malu belajar, walau belajar dengan anak-anak, karena ilmu berada dimana-mana, ilmu tidak hanya kita dapat di sekolah, atau pendidikan formal. semoga kita akan tetap terus belajar, belajar untuk hidup, belajar menjadi sukses, dan belajar untuk terus bisa belajar.

"Karena saya masih bodoh, maka saya akan terus belajar"

"Jangan menjadi gelas yang penuh untuk belajar, sisakan sedikit kekosongan untuk pelajaran yang lain"

   Setelah saya membaca dan menyimak komentar-komentar diatas, yang dapat saya simpulkan adalah bahwa setiap orang yg pintar atau pas-pasan prestasi akademiknya bisa mendapatkan pekerjaan apabila pribadi masing-masing ada niat dan kemauan untuk mendapatkan pekerjaan yang ia inginkan. Selanjutnya yang harus dilakukan adalah berdoa kepada ALLAH SWT supaya apa yang kita inginkan dikabulkan oleh-NYA karena mustahil usaha tanpa doa akan berhasil. Kemudian yang paling utama menurut saya adalah doa dan restu dari orang tua terutama ibu, karena doa beliaulah yang mengantarkan dan mempermudah kita dalam menuju kesuksesan kita.